LAPORAN PENDAHULUAN RINOSINUSITIS
A. PENGERTIAN
§ Rinosinusitis
adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena
keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab
bakteri pathogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab
lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat
fraktur dan tumor (Benninger dan Gottschall, 2006; Soetjipto dkk, 2006)
§ Rinosinusitis
merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal, yang selalu
dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh infeksi,
obstruksi mekanik atau alergi (Hwang dkk, 2009; Jorissen dkk, 2000;
Baroody, 2007)
§ Rinosinusitis
adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan kronis
apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010)
§ Sinusitis
dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih
mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis
sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa
sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
§ Rinosinusitis
merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ sinus paranasal dan
kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis telah
diganti menjadi istilah rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus
sinusitis tanpa rhinitis dan juga penyakit rhinitis yang selalu disertai
dengan sinusitis. (Lee, 2008)
§ Rinosinusitis
kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan sebagai
gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan
pada mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel maupun
irreversible dengan berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,2,3
berlangsung lebih dari 12 minggu RSK masih merupakan tantangan dan
masalah dalam praktek umum maupun spesialis mengingat anatomi, etiologi
serta penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011)
§ Rinosinusitis
kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat
ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12
minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
ditambah 2 kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto,
2006; Setiadi M, 2009).
§ Rinosinusitis
(RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis jarang tanpa
didahului rinitis dan tanpa melibatkan infl amasi mukosa hidung.
Rinosinusitis menjadi penyakit berspektrum infl amasi dan infeksi mukosa
hidung dan sinus paranasal. Rinosinusitis didefinisikan sebagai
gangguan akibat infl amasi mukosa hidung dan sinus paranasal; dikatakan
kronik apabila telah berlangsung sekurangnya 12 minggu (Benninger dkk,
2003)
§ Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery 1996,
rinosinusitis adalah peradangan kronik pada satu atau lebih mukosa sius
paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari
mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis
dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada
rinitis maupun sinusitis. Berdasarkan Task force yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA),
dan American Rhinologic Society (ARS), rinosinusitis kronik
didefinisikan sebagai rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12
minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai
dua gejala minor (Hwang dkk, 2003; Jirapongsananuruk, 1998 cit Setiadi 2009)
§ Rinosinusitis
(maksila) adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal
(sinus maksila), ditandai oleh dua atau lebih gejala, diantaranya
terdapat sumbatan hidung/obstruksi/ kongesti, atau ada sekret hidung
(anterior/ posterior nasal drip), rasa nyeri/tertekan pada wajah,
berkurang atau hilangnya penghidu; juga temuan endoskopik: adanya sekret
mukopurulen terutama dari meatus medius, atau edema/sumbatan mukosa
terutama di meatus medius dan atau adanya perubahan mukosa dalam
kompleks osteomeatal dan atau sinus pada temuan tomografi komputer/ CT
scan) (Fokkens dkk, 2007)
B. KLASIFIKASI
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau dari lima aksis, yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007) membagi rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu
Rinosinusitis
kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap
selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang
masing-masing serangan lebih dari 10 hari.
2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
Klasifikasi
lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi, membagi rinosinusitis
menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi
dibagi dalam rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi
biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas akut yang
disebabkan virus, biasanya infeksi bakteri merupakan lanjutan dari
infeksi virus. Infeksi virus biasanya akan membaik tanpa terapi setelah 2
minggu. Virus yang biasa menjadi penyebab adalah virus influenza,
corona virus dan rinovirus. Infeksi virus sering diikuti infeksi bakteri
terutama kokkus (streptococcus pneumonia dan staphilococcus aureus) dan
haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik noninfeksi Bisa disebabkan
alergi, faktor lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab fisiologik
atau yang berkaitan dengan usia (misalnya rinitis vasomotor dan
perubahan hormonal).
Pembagian
berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk
menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah
banyak dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut
sistem Lund MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan
masing-masing sinus dengan skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1
bila ditemukan opasitas parsial, skor 2 bila ditemukan opasitas total
sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek. Sistem ini banyak
dipakai karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara
obyektif, dapat dipakai untuk kasus individual, dan mempertimbangkan
kondisi komplek osteomeatal (Zeinreich, 2004).
C. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis
akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran pernafasan atas
seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat
menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan
aktivitas mukosiliar. Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara
adekuat akan menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak
lengkap, akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan
menciptakan predisposisi infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi
gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan yang
sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini
dapat menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi
dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus
maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi
merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing
yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada
kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi
adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell
& Comb) yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai
organ sasaran utama. Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin,
hidung tersumbat dan gatal.
Peranan
alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti
bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa
sinus yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu
drainase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya
menghancurkan epitel permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus
dapat menyebabkan rinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes
mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus
berada dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f. Asma
Asma
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip
hidung sehingga mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan
anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar, hipertrofi
atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi aliran
ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan
kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom
kartagener atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik, dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga
menyebabkan terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan
disorientasi arah dari denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar
dan frekuensi denyut silia menyebabkan infeksi
kronis
yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan rinosinusitis. Pada
fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang menghasilkan
mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal ini
menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman
dan timbul infeksi.
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor
lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu
polusi udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat
mengiritasi saluran hidung, menyebabkan perubahan mukosa dan
memperlambat gerakan silia. Apabila berlangsung terus-menerus dapat
menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin akan memperparah infeksi
karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini membuat jalannya
mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian menyebabkan
bakteri berkembang di daerah tersebut
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sinus
atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam
tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang
kepala. Sinus paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi udara, penahan suhu,
membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara, peredam
perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mucus untuk membersihkan
rongga hidung.
Secara
embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan sinus frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa
yang merupakan lanjutan dari mukosa hidung, berisi udara dan semua
sinus mempunyai muara (ostium) di dalam rongga hidung.
Secara
klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal,
sinus maksila, dan sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior terdiri
dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid.
Pembagian Sinus Paranasal
1. Sinus Maksila
Sinus
maksila merupakan sinus paranasal terbesar dan terdapata pada daerah
tulang maksila. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus
kemudian berkembang mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml (34 x 33 x
23mm) saat berusia 15-18 tahun. Bentuk sinus maksila ini adalah seperti
piramida dengan bagian puncak menghadap ke lateral dan meluas ke arah
prosesus zygomatikus dari maksila.
Dasar
sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang kadang juga gigi taring
dan gigi molar M3. Akar-akar gigi tsb dapat menonjol ke dalam sinus
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
rinosinusitis.
2. Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus. Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum
usia 20 tahun.7 Volume sinus ini sekitar 6–7 ml (28 x 24 x 20 mm).
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.
Tidak adanya gambaran lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.
3. Sinus Etmoid
Sinus
etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru
dilahirkan. Pada saat janin yang berkembang pertama adalah sel anterior
diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai
umur 12 tahun. Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15
ml (33 x 27 x 14 mm). Bentuk sinus etmoid seperti piramid dan dibagi
menjadi multipel sel oleh sekat yang tipis.
Dibagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di dalam etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya
ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
rinosinusitis frontal dan peradangan di infindibulum dapat menyebabkan
rinosinusitis maksila.
4. Sinus Sfenoid
Sinus
sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar tengkorak, tidak
berhubungan dengan dunia luar sehingga jarang terkena infeksi. Sinus ini
terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.7 Sinus
sfenoid dibentuk di dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin dan
tidak berkembang hingga usia 3 tahun.
Sinus
mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan volume sekitar 7,5 ml
(23 x 20 x 17 mm). Sebelah superior sinus sfenoid berbatasan dengan fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap
nasofaring, sebelah lateral dengan sinus kavernosus dan a. karotis
interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa posterior di
daerah pons
E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan
kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis.
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor
utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi
rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil proses
radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal
menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan
media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga
memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi
hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus
ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk
memperbaiki drainase dan aerasi sinus.
Faktor
predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik
seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung,
polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang
mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang,
diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti
polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan
perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.
Pathway
Pathway Rinosinusitis |
F. GEJALA DAN TANDA KLINIS
Diagnosis
ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor
dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN
(Busquets JM , 2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)
1. Gejala Mayor :
§ Hidung tersumbat
§ Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
§ Sakit kepala
§ Nyeri / rasa tekan pada wajah
§ Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2. Gejala Minor :
§ Demam, halitosis
§ Pada anak; batuk, iritabilitas
§ Sakit gigi
§ Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.
Gejala dan Tanda Klinis : (Ballenger, 1997 cit Setiadi 2009)
1. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai
dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara
anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan
dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa
tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan
nyeri hebat pada gigi-gigi ini
b. Sakit kepala
Merupakan
tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff
menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya
kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala
bermacam-macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari
peradangan atau penyakit pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan
dari mata, maka biasanya bilateral dan makin berat pada sore hari,
sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih sering unilateral dan
meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan
meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba
digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat
istirahat ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri
kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan
ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri
bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
d. Gangguan penghindu
Indra
penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak
tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura
olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus
superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra
penghindu. Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi
filament terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus,
indra penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika
sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi
dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti
meraba beludru.
b. Sekret nasal
Mukosa
hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif,
sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya
pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan adanya
suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan
tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid
anterior, karena sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.
G. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling
sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan
oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling
sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran
infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi
yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
3. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti
bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat
juga timbul asma bronkial
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang
terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi
mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan
radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan Lateral. Tepi
mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada
infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan
mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas yang
paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan
permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum
maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau
daerah periodontal.
Jika
cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya
batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus
maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang
CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan
adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan
koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi
yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti
orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada
komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan
dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid
posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2,
Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2
: Opasifikasi komplit.
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi
ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat
bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal
penyebab sinusitis.
Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media,
konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.
I. DIAGNOSIS
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS)
adalah rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2
gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau
lebih (Setiadi M, 2009).
J. PENATALAKSANAAN
Jika
pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,
polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk
melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan
(Ulusoy, 2007).
Jika
tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial
yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun
tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan sebagai
terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau
ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid,
klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan mencukupi 10 – 14
atau lebih jika diperlukan.
Jika
tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika
diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.
Jika
dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan,
Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi
antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik dimukosa
hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan
hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan
topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun
efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama
(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi
berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari 50% kasus,
karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga
kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral,
kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi
lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan
perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya
kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi.
Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan
pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang.
Sedangkan
kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat
selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan.
Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat
membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot
merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis
kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan optimal
serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah.
Beberapa
macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior,
Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan.
Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami.
Namun
dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang
pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc
yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan
normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius
sehingga drainase dapat sembuh kembali.
Bedah
Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah
sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan
konservatif yang lebih efektif dan fungsional.
Keuntungan
BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang,
sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya
kelainan patologi dirongga-rongga sinus.
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar.
Dengan
ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap
berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh
sendiri.
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT ISHIALGIA
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan,,
2. Riwayat Penyakit sekarang
Penderita mengeluah hidung tersumbat,kepala pusing, badan terasa panas, bicara bendeng.
3. Keluhan utama
Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
§ Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
§ Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
§ Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga :
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
§ Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
§ Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
§ Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan efek samping.
§ Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
§ Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
§ Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
§ Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus (baik purulen , serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik
§ status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
§ Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa merah dan bengkak)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
3. PK: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya daya tahan tubuh.
4. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status kesehatan.
5. Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada fisura olfaktorius
RENCANA KEPERAWATAN
| |||
NO DX
|
DIANGOSA KEPERAWATAN DAN KOLABORASI
|
TUJUAN (NOC)
|
INTERVENSI (NIC)
|
1
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih
|
NOC :
v Respiratory status : Ventilation
v Respiratory status : Airway patency
v Aspiration Control
Kriteria Hasil :
§ Mendemonstrasikan
batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan
dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak
ada pursed lips)
§ Menunjukkan
jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
§ Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
|
NIC :
Airway Management
§ Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
§ Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
§ Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
§ Pasang mayo bila perlu
§ Lakukan fisioterapi dada jika perlu
§ Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
§ Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
§ Lakukan suction pada mayo
§ Berikan bronkodilator bila perlu
§ Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
§ Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
§ Monitor respirasi dan status O2
Airway Suction
§ Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
§ Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
§ Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
§ Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
§ Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
§ Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
§ Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
§ Monitor status oksigen pasien
§ Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suksion
§ Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
|
2
|
Nyeri berhubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus
|
NOC :
v Pain Level,
v Pain control,
v Comfort level
Kriteria Hasil :
§ Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
§ Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
§ Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
§ Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
§ Tanda vital dalam rentang normal
|
NIC :
Pain Management
§ Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
§ Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
§ Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
§ Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
§ Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
§ Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau
§ Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
§ Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
§ Kurangi faktor presipitasi nyeri
§ Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)
§ Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
§ Ajarkan tentang teknik non farmakologi
§ Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
§ Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
§ Tingkatkan istirahat
§ Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
§ Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Analgesic Administration
§ Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
§ Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi
§ Cek riwayat alergi
§ Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
§ Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
§ Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal
§ Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
§ Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
§ Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
§ Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping)
|
3
|
PK: Infeksi
|
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan ……x 24 jam diharapkan perawat akan mencegah, menangani dan meminimalkan infeksi dengan gejala:
§ Suhu meningkat
§ Urine buram/ bau flor
§ Ulser pada sisitem gastrointestinal
§ Perubahan jumlah SDP khususnya neutrofil dan limfosit
§ Adanya nyeri pada perineum
|
§ Pantau SDP (neutrofil dan limfosit)
§ Pantau tanda dan gejala infeksi primer dan sekunder
§ Pantau gejala septicemia
§ Pantau efek antibiotic
§ Pantau tanda dan gejala virus oportunistik (herpes, varicella dll)
§ Pantau tanda dan gejala infeksi jamur (stomatitis, esofagitis, meningitis)
§ Kaji dan pantau infeksi bakteri pada pulmonal
§ Anjurkan intake nutrisi ditingkatkan
§ Kurangi prosedur infasif
|
4
|
Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status kesehatan
|
NOC :
v Anxiety control
v Coping
v Impulse control
Kriteria Hasil :
§ Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
§ Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
§ Vital sign dalam batas normal
§ Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
|
NIC :
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
§ Gunakan pendekatan yang menenangkan
§ Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
§ Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
§ Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres
§ Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
§ Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
§ Dorong keluarga untuk menemani anak
§ Lakukan back / neck rub
§ Dengarkan dengan penuh perhatian
§ Identifikasi tingkat kecemasan
§ Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
§ Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
§ Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
§ Barikan obat untuk mengurangi kecemasan
|
5
|
Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada fisura olfaktorius
|
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan ……x 24 jam diharapkan pasien dapat mempertahankan fungsi pembau dan mencegah kerusakan yang lebih parah dengan kriteria hasil:
§ Mempertahankan fungsi pembau
|
§ Kaji seberapa besar kehilangan sensasi bau pada klien
§ Kenalkan pasien dengan berbagai sensasi bau seperti aroma makanan, parfum dll
§ Jelaskan pada pasien tentang keadaannya dan mekanisme bau sehingga pasien jelas dengan keadaannya
§ Kolaborasikan pemeriksaan selanjutnya dan terapi
§ Memberi helth education kepada pasien mengenai penurunan fungsi pembau
§ Libatkan keluarga dalam pengobatan dan perawaatan
|
6
|
Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai kondisi, prognosis dan tindakan pengobatan
|
NOC :
v Kowlwdge : disease process
v Kowledge : health Behavior
Kriteria Hasil :
§ Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
§ Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
§ Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya
|
NIC :
Teaching : Disease Process
§ Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik
§ Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
§ Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
§ Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
§ Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
§ Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara yang tepat
§ Hindari harapan yang kosong
§ Sediakan bagi keluarga atau SO informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
§ Diskusikan
perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi
di masa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit
§ Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
§ Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
§ Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat
§ Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas lokal, dengan cara yang tepat
§ Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
|
DAFTAR PUSTAKA
Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and diagnosis. In: Itzhak Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and Francis Group
Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis:
etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo
Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis.
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, eds. Buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi
ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Universitas Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional endoscopic sinus surgery di Indonesia pada panel ahli THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-Depkes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar